Pernah bermain lego? Pernahkah membayangkan bagaimana jika balok-balok lego tersebut diganti dengan batu-batu besar dan digunakan untuk membangun peradaban dalam sebuah kota? Nyatanya kota seperti itu pernah ada dan dinamakan Tiahuanaco.
Tiahuanaco atau biasa disebut Tiwanaku merupakan sebuah situs arkeologi pra-Kolombus di Bolivia barat. Tiwanaku dianggap sebagai salah satu warisan penting kekaisaran Inka yang terletak di pantai tenggara Danau Titicaca di Departemen Lavaz, Provinsi Ingavi. Kota ini terletak pada ketinggian 13.000 kaki, tekanan udaranya kira-kira setengah dari tekanan udara di atas permukaan laut sehingga kandungan oksigen dalam udaranya sangat sedikit sekali.
Tiwanaku adalah ibukota sebuah kerajaan yang membentang hingga ke negara modern Peru dan Chili, berkembang dari tahun 300 M hingga 1.000 M berdasarkan dari ditemukannya Pucara dan kebudayaan Chiripa. Namun seorang peneliti, Arthur Ponansky mengklaim bahwa Tiwanaku telah berdiri lebih dari 11.450 tahun SM berdasarkan ilmu Archaeoastronomy yaitu ilmu yang mempelajari mengenai fenomena astronomi masa lalu melalu data tertulis maupun tidak tertulis. Archaeosastronomy ini dibagi kedalam 3 jenis yaitu Astroachaeology yang mempelajari astronomi berdasarkan pola, tata letak dan arsitektur bangunan kuno, kemudian History of Astronomy yang mempelajari astronomi masa lalu melalui sumber tertulis serta yang ketiga Ethnoastronomy yang mempelajari astronomi berdasarkan sumber pengetahuan masyarakat masa lalu maupun masyarakat sekarang. Hingga pada abad 21 para peneliti lain meyakinkan bahwa teori Arthur Ponansky tidak sah sehingga sampai sekarang. Usia sebenarnya dari Tiwanaku masih dalam tahap penelitian lebih lanjut oleh para arkeolog.
Tiwanaku diyakini sebagai pusat acara keagamaan serta pusat perkembangan kebudayaan. Disini juga pernah berdiri tegak sebuah piramida yang disebut Akapana. Namun, ketika pertama kali ditemukan piramida ini tertutup oleh pasir dan berhasil terlihat setelah dilakukan ekskavasi selama beberapa dekade. Akapana memiliki tinggi sekitar 59 kaki atau kurang lebih 18 meter hampir sama besarnya dengan The Great Pyramid of Khufu. Jika dilihat lebih dekat, struktur bangunan piramida ini menunjukkan jika dinding dan kolom bangunan ini mencuat di bagian bawah yang diukir dengan batu. Piramida yang berbentuk tidak jelas ini adalah hasil dari abad penjarahan dan penggalian batu untuk gereja kolonial dan bahkan untuk kereta api yang dibangun tahun 1900-an. Penelitian baru menunjukkan bahwa piramida ini tidak pernah selesai di zaman kuno.
Di sekitar tingkatan piramida terdapat senyawa persegi besar yang terbuat dari sisa-sisa monumen sebelumnya dan kemungkinan digunakan sebagai tempat ritual bagi para kelompok etnis. Penggalian yang sedang dilakukan oleh para arkeolog mengungkapkan jaringan kompleks terowongan dan lorong-lorong dalam piramida ini sangat mirip dengan poros piramida Mesir.
Bagian lain yang menarik dari Tiwanuku adalah bangunannya yang dibuat seperti lego yaitu Puma Punku yang dalam bahasa lokal artinya “pintu cougar”. Puma Punku adalah sebuah kompleks yang kemungkinan besar digunakan untuk acara keagamaan. Bangunan-bangunan di sini dipotong dengan sangat halus, dengan berat masing-masing bongkahan rata – rata lebih dari 100 ton. Puma Punku terletak di selatan Akapana. Dan dari posisi ini, kita bisa melihat gunung “suci”, sebuah gunung yang dikaitkan dengan ritual keagamaan warga setempat.
Struktur pembuatan serta penyusunan batu ini dikenal sangat unik. Batu pasir merah dan andesit dipotong sangat halus dan sedemikian rupa sehingga cocok dan saling mengunci dengaan sempurna saat digabungkan satu sama lain tanpa menggunakan mortar atau perekat persis seperti lego di jaman sekarang. Batu-batu ini juga memiliki ukuran yang sangat besar, blok batu yang terbesar memiliki tinggi 7.81 meter, lebar 5.17 meter, ketebalan 1.86 meter dan berat 1.31 metrik ton lalu batu kedua terbesar memiliki tinggi 7.90 meter, lebar 2.5 meter dan ketebalan 1.86 meter dengan berat 85.21 metrik ton. Kedua batu ini terbuat dari bebatuan pasir merah dan bagian dari Platform Litaca. Melihat besar dan beratnya batua-batuan ini tentunya bagaimana cara memindahkannya menjadi pertanyaan bagi para peneliti, analisis kimia mengungkapkan blok-blok batu pasir merah ini diangkut melalui lereng curam dari tambangnya di Danau Titicaca yang berjarak 10 KM, sedangkan batu andesit yang digunakan untuk bagian sisi batu dan ukiran berasal dari tambang di Semenanjung Copacabana sekitar 90 KM dari Danau Titicaca. Melihat hal ini, kemungkinan Puma Punku bukan dibangun oleh bangsa Tiwanuku melainkan oleh peradaban lain yang lebih maju dan berasal dari seberang lautan, namun hal ini juga masih dalam tahap penelitian. Kompleks ini sekarang telah menjadi reruntuhan, dengan blok-blok besar granit yang tergeletak tidak beraturan satu sama lain. Situs ini tampaknya telah hancur oleh gempa bumi yang kemungkinan disertai gelombang pasang dari Danau Titicaca.